Wesel: A Journey to Discover
Karya ini berawal dari keingintahuan saya tentang jalur kereta api industri (decauville) yang mangkrak di kabupaten Pemalang, sebuah kota di pantai utara Jawa Tengah, sekaligus tempat saya dilahirkan. Banyak pertanyaan muncul di benak, mulai dari untuk apa rel itu dibuat siapa yang menggunakannya hingga apa sebenarnya pengaruh keberadaannya terhadap Pemalang. Adanya peta buatan awal abad ke-20, yang saya temukan mulai mengarahkan hati saya untuk menelusuri jalur decauville ini, dan turut memperluas rasa penasaran ini pada dua komoditas besar, tebu dan kayu jati.
Tebu, nyatanya, membutuhkan kayu jati untuk menjadi gula pasir. Jutaan kubik kayu ini menjadi bahan bakar mesin-mesin besar di pabrik gula saat itu. Decauville menjadi jawaban atas kebutuhan sistem transportasi yang ringan, fleksibel, dan efisien untuk mengangkutnya. Sekarang, sebagian besar bekas jalurnya berubah menjadi jalan perumahan jalan raya, kebun, rumah, dan kompleks ruko. Sebagian lagi dibiarkan tak berpenghuni dengan ratusan patok sebagai penanda.
Saya mengambil serangkaian foto ini di bekas jalur decauville, bekas perkebunan tebu, dan bekas pabrik gula di Pemalang. Hal ini mempengaruhi pemikiran saya tentang kota ini, yang pernah tumbuh besar pada masa penjajahan Belanda karena sektor industri yang masif dengan lima pabrik gula dan tiga gudang kayu jati, hingga adanya, depresi hebat dan situasi politik yang mempengaruhi perubahan sektor industri. dan membentuknya menjadi Pemalang yang terlihat hari ini.
Saya ingin mempresentasikannya kepada khalayak untuk mengajak mereka, napak tilas sejenak sekaligus memulai diskusi tentang bagaimana relasi sejarah dengan keadaan kota tempat kelahiran berlangsung di masa sekarang.
My work started from my curiosity about the abandoned industrial railway line (decauville) in Pemalang, a small town in Central Java. Many questions arose along the way, what the rails were made for, who used the rails, to what effect the rails actually had on Pemalang. The maps made in the early 19th century that I found later began to lead my heart to explore this decauville line, and eventually expand my curiosity to two big commodities, sugar cane and teak wood.
Sugarcane, in fact, requires teak logs to become sweet sugar. Millions of cubical teak logs was the fuel for the big machines in the sugar mill (or Suiker Fabriek, in Dutch). Decauville was the answer to the need for a lightweight, flexible, and efficient transportation system at that time. Now, most of the former railway lines are now converted into residential roads, highways, gardens, houses, and shop houses Others left empty land with hundreds of stakes as markers.
I took photos in the ex-decauville, ex-sugarcane plantation, and ex-sugarmill grounds while interacting with the people who lived there continuously. It naturally influenced the thoughts I had about this city, that once grew big during the Dutch colonial period because of the massive industrial sector with five sugar factories and three teak wood warehouses, to the great depression and political situation that influenced the decline of the industry and shaped it into the Pemalang seen today.
The final form of this work is multimedia. I add recorded interviews while the images are playing. Depending on the vibes, I would like to potentially also use several supporting sound elements that can make the multimedia become more lively. I want to present my photos to start a discussion about how history relates to the current state of the city where people was born.