Mutiara Hitam yang Ditanam
“Vulgar, seperti orang telanjang,” kenang Dwi Saputra Kurniawan tentang pengalamannya pada 2002 menyaksikan eksploitasi lahan tambang di Kalimantan Selatan.
Tergerak oleh kerusakan lingkungan dan potensi kopi lokal yang diabaikan, ia memutuskan banting setir dari profesinya sebagai bankir menjadi petani kopi yang terampil. Ia membimbing petani kopi di Kalsel sejak 2018 dengan mengajarkan sortir petik merah dan pemrosesan biji kopi sesuai standar mutu, menghasilkan peningkatan kualitas dan lonjakan harga hingga enam kali lipat. Dwi juga mempromosikan agroforestri dan perkebunan rakyat terintegrasi untuk mencegah kerusakan lingkungan.
Gagasan ekonomi tandingan dengan moto “Pulihkan Bumi, Bangkitkan Ekonomi” menjadi fokusnya, dengan keyakinan bahwa ekonomi ekstraktif dapat merusak lingkungan, memicu konflik lahan, dan tidak berkelanjutan. Naufal, petani kopi muda, merasakan dampak langsung sebagai korban banjir besar di Kalsel pada tahun 2021 yang membuatnya kehilangan pohon kopi dan hasil panennya.
Kisworo Dwi Cahyono, Ketua WALHI Kalsel, mengungkapkan bahwa 33% dari 3.7 juta hektar lahan di Kalsel dikuasai oleh tambang, dan 17% oleh perkebunan kelapa sawit. Ia menekankan pentingnya ekonomi tandingan berbasis potensi lokal sebagai solusi untuk mengatasi darurat ruang dan darurat ekologis di Kalimantan Selatan.