Berwisata ke Yogyakarta selalu banyak acara-acara seni dan kebudayaan yang dapat dikunjungi, seolah tidak pernah kekurangan karya seni yang dapat dinikmati setiap berkunjung ke kota ini. Lisna, Asisten Program Panna, berkunjung ke Yogya khusus untuk menghadiri beberapa acara kebudayaan di sana, salah satunya mengunjungi Pameran Tunggal Kurniadi Widodo yang bertajuk Loci Memoriae.
Kurniadi Widodo, fotografer independen, alumni program Training of Trainers, sebuah program dalam rangkaian Permata PhotoJournalist Grant.
Setelah mengunjungi pameran Loci Memoriae yang diselenggarakan di Kedai Kebun, Lisna berbincang dengan Wid – panggilan akrab Kurniadi Widodo tentang pameran tunggalnya tersebut dan tentang fotografi di Yogyakarta. Yuk simak perbincangan mereka berikut ini:
Halo mas Wid, sebelumnya sekali lagi selamat atas pameran tunggalnya. Foto-foto yang ditampilkan sebetulnya hal-hal sederhana yang banyak kita temui sehari-hari tapi kerap terlewat, membuat foto-foto tersebut terasa akrab tapi juga asing. Bisa mas Wid ceritakan sedikit tentang foto-foto yang dipamerkan sekaligus tentang “Loci Memoriae”?
Halo, terima kasih ya. Pameran ini sebetulnya mengumpulkan beberapa seri foto yang berbeda. Ada yang sudah pernah dipublikasikan sebelumnya dalam bentuk buku & zine tapi baru untuk pertama kalinya dipresentasikan dalam bentuk pameran (Surat untuk Bapak dan Imajinasi, Televisi), lalu ada juga seri baru yang saya buat untuk pameran ini walaupun gagasannya didasarkan atas sejumlah foto lama (Newsworthy), ditambah beberapa foto tunggal yang berdiri sendiri.
Seluruh karya di atas dalam pameran ini dipresentasikan dengan mengangkat gagasan akan ingatan dan waktu. Kurator melihat praktik memotret saya yang beragam sebagai metode untuk memperlambat laju kehidupan yang saat ini bergerak sedemikian cepat, agar kita mendapatkan jeda untuk mengingat. Istilah Loci Memoriae sendiri diambil dari sebuah teknik mengingat yang dikembangkan sejak zaman Yunani Kuno, yang metodenya adalah dengan mengandaikan ingatan sebagai ruang-ruang spasial yang bisa divisualisasikan secara mendetil, sehingga sebuah ingatan bisa kita hubungkan dengan sebuah ruang spesifik. Metode ini tentunya menjadi sangat terkait dengan fotografi sebagai medium visual, yang juga sering digunakan sebagai pembantu untuk mengingat.
Ceritakan juga dong tentang LIR dan proses kurasinya.
Lir adalah sebuah ruang seni di Yogyakarta yang dikelola secara independen oleh Mira Asriningtyas dan Dito Yuwono. Selain mengkurasi pameran-pameran dan berbagai program lain di ruang mereka sendiri, beberapa tahun terakhir ini mereka juga mengembangkan praktiknya sebagai kolektif kuratorial dengan menginisiasi berbagai program di ruang-ruang lain, seperti misalnya untuk pameran Loci Memoriae ini yang bekerja sama dengan Kedai Kebun Forum.
Untuk proses kurasinya sebenarnya bisa dibilang sederhana, karena gagasan awal pameran ini memang datang dari kuratornya. Mereka juga yang mengajukan seri-seri foto yang menurut mereka menarik untuk diangkat dalam relasinya dengan tema ingatan dan waktu itu. Kami lalu berdiskusi lebih lanjut untuk mengolah foto-foto yang sudah ada (atau dalam kasus seri Newsworthy dan Imajinasi, Televisi, menambah foto-foto lagi) untuk kemudian menentukan metode presentasinya dalam pameran.
Saya mempercayakan pada mereka sepenuhnya seri-seri mana saja yang akan ditampilkan dalam pameran dan seperti apa presentasinya, karena bagi saya itu juga menjadi cara untuk melihat karya-karya yang sudah pernah dibuat sebelumnya dalam perspektif baru. Sementara mereka mempercayakan pada saya foto-foto apa saja yang akan ditampilkan dalam sebuah seri.
Saya pribadi suka sekali dengan foto-foto dalam display kaca, seperti metafora kenangan: ada di situ dan masih diingat dengan begitu jelas tapi nggak bisa disentuh. Ada maksud tertentu kenapa di-display demikian, mas?
Pada dasarnya seperti yang kamu bilang, foto-foto di album keluarga itu memang representasi kenangan atas mendiang ayah saya, yang tentu saja sekarang sudah tidak ada dan relasi orang tua-anak seperti yang tertangkap di foto-foto itu juga tak lagi sempat hadir di penghujung akhir hidup beliau.
Foto-foto tersebut adalah separuh dari karya Surat untuk Bapak, yang bagian lainnya ditampilkan di dinding di hadapan kotak kaca itu, berupa foto-foto tanaman yang adalah pengingat terakhir saya atas beliau. Foto-foto tanaman ini dipresentasikan tanpa bingkai apapun sehingga masih bisa disentuh, karena obyek-obyek terfoto di sana juga masih ada hingga sekarang di halaman depan rumah kami. Adanya kontras dan juga jarak (fisik maupun emosional) di antara dua presentasi itulah salah satu aspek yang memang ingin diangkat di karya itu.
Lalu, ada kabar terbaru apa dari dunia fotografi di Yogyakarta?
Sekitar 2 tahun terakhir ini sebenarnya saya melihat fotografi Yogya baru tidak terlalu aktif sih, setidaknya dalam hal produksi karya ataupun wacananya. Tidak banyak pameran foto dalam setahun, yang membekas dalam ingatan pun hanya satu-dua. Acara presentasi atau diskusi fotografi pun jarang yang menarik karena topiknya cenderung repetitif. Meskipun begitu, sekitar paruh akhir tahun 2018 ini kelihatannya mulai ada beberapa pergerakan lagi.
Setelah pameran Loci Memoriae, saya dan beberapa teman lain di antaranya Budi Dharmawan dan Taufan Wijaya sempat mengadakan kembali Kumpul Buku Foto Yogyakarta pertengahan Oktober lalu setelah sempat 4 tahun vakum. Sambutannya rasanya cukup baik, yang datang lebih ramai dari acara sebelumnya di tahun 2014.
Selain itu, beberapa kolektif dan kelompok kecil saya lihat masih konsisten melakukan aktivitasnya masing-masing. Seperti misalnya Sokong Publish yang secara berkala masih rajin melakukan publikasi online karya-karya fotografi hasil submisi merespon tema dari mereka. Sokong juga beberapa kali bekerja sama dengan kolektif lain seperti RAR Editions membuat performans cetak Print Show di beberapa acara. Salah satu anggota Sokong yang juga alumni program Pannafoto, Danysswara, saat ini juga baru menjalankan proyek Afdruk Kilat bersama Mes56, dan saya lihat kios cuci cetak kilatnya cukup sering hadir di berbagai acara seni budaya. Di ranah publikasi fisik, Kamboja Press juga masih aktif menerbitkan buku-buku foto risograph mereka, walaupun kebanyakan karya yang dipublikasi justru berasal dari luar Yogya.
Terakhir, project mas Wid selanjutnya apa nih?
Setahunan terakhir saya baru tertarik dengan fenomena wisata selfie yang jumlahnya sekarang sangat banyak dan terus bertambah, sehingga di waktu luang saya kadang mengunjungi tempat-tempat itu untuk mengetahui lebih banyak tentang mereka. Belum tahu hasil akhirnya nanti akan jadi seperti apa sih, sampai saat ini masih mengeksplorasi.
Terima kasih atas waktunya, mas Wid. Kami nantikan karya-karya berikutnya.
(Lisna Dwi Astuti / Foto: Kurniadi Widodo)