Sepertinya kita akan sepakat, sepak bola merupakan cabang olahraga yang paling populer di dunia. Piala Dunia menjadi ajang pertandingan sepak bola terbesar yang dinantikan oleh penggemar setia dan musiman sepak bola.
Alumni Permata PhotoJournalist Grant (PPG) 2014, Herka Yanis Pangaribowo, saat ini bekerja sebagai pewarta foto di Tabloid BOLA menjadi saksi gelaran ini langsung dari Rusia.
Kami merasa kepo, ingin tahu persiapan, kehebohan, dan pengalaman Herka selama meliput Piala Dunia 2018. Simak obrolan kami dengan Herka selengkapnya di bawah ini:
Mas Herka, liputan Piala Dunia di Rusia kemarin berapa lama? Ceritain dong pengalamannya motret ajang olahraga sebesar Piala Dunia.
Halo PannaFoto. Saya merasa bersyukur dapat kesempatan dari kantor (Tabloid BOLA) untuk liputan Piala Dunia 2018. Saya berada di Rusia 38 hari, 6 hari sebelum pembukaan saya sudah berada di sana dan balik ke Indonesia H+2 setelah final. Ini liputan Piala Dunia pertama saya, juga pertama kalinya saya ke Eropa.
Selama Piala Dunia, dari babak penyisihan sampai final, total saya mendapat kesempatan memotret 13 pertandingan, 10 pertandingan di pinggir lapangan, 3 pertandingan di tribun fotografer. Kalau ditanya pengalaman selama bertugas di sana sebenarnya setiap hari saya lebih merasa belajar daripada kerja. Saya belajar banyak dari fotografer yang sudah merasakan situasi seperti ini. Salah satunya adalah memperhatikan cara mereka motret, selanjutnya melihat hasil foto-foto mereka di website setelah pertandingan (misalnya website kantor berita).
Dalam hal perlengkapan fotografi dan peraturan peliputan, perbedaan dengan liputan pertandingan sepak bola di Indonesia apa saja?
Memotret langsung pertandingan Piala Dunia tentunya harus mendapat akreditasi dari FIFA. Setelah melalui verifikasi data dan kelengkapannya, akreditasi saya beres sekitar bulan Februari 2018. Setelah mendapatkan akreditasi dan mempunyai akun di website FIFA, saya bisa mengajukan pertandingan pada babak penyisihan.
Oiya, penentuan posisi fotografer untuk memotret di Piala Dunia tidak seperti memotret sepakbola di Indonesia, yang membebaskan fotografer memilih lokasi memotret, di Piala Dunia lokasi memotret di pinggir lapangan ditentukan menjadi 3 prioritas:
Prioritas 1 kebanyakan para fotografer kantor berita dan fotografer dari negara yang sedang bertanding. Posisinya mulai dari belakang gawang samping sampai ke sepak pojok. Salah satu posisi paling ideal. Selebrasi pemain setelah mencetak gol sering mengarah ke posisi ini.
Prioritas 2 diisi fotografer dari negara yang sedang bertanding yang belum kebagian di prioritas satu dan fotografer dari negara peserta Piala Dunia. Mereka berhak memilih posisi di dekat area sepak pojok.
Nah Prioritas 3 untuk fotografer antah berantah, non peserta Pildun dan freelance. Selama Piala Dunia saya hanya sekali mendapat tempat di prioritas 2, sisanya prioritas 3. Prioritas 3 ini posisinya berada di seberang bench pemain cadangan.
Apakah mas Herka pecinta sepak bola? Seberapa kecintaan mas Herka pada sepak bola ini kemudian bisa membantu saat meliput sebuah pertandingan?
Pertama kali saya menonton sepakbola adalah Piala Dunia 1998, 20 tahun lalu, saat Prancis juara. Namun baru mulai rutin menonton tahun 2000. Saat itu saya mengikuti Liga Italia. Nah di tahun 2000 itu juga saya mulai rutin membaca dan membeli Tabloid BOLA. Tahun 2001, saat saya kelas 1 SMP saya mulai berlangganan Tabloid BOLA sampai lulus SMA (6 tahun), walaupun sering dimarahi orang tua karena uang jajan sering dihabiskan untuk membeli kertas. Nah akhir 2013, pas saya mulai bekerja di Tabloid BOLA, orang tua saya bilang, “oalah ini toh jawabannya kenapa dulu uangnya sering habis untuk membeli Tabloid BOLA”. Dari dulu saya cukup senang mengikuti berita olahraga, selain sepakbola saya juga mengikuti basket, atletik, tinju, tenis lapangan.
Keuntungan kalau kita menyukai hal yang kita foto adalah minimal kita bisa tahu kebiasaan-kebiasaan pemain. Misal biografi pemain, pemain kunci setiap negara, kebiasaan-kebiasaan dan berbagai ekspresi pemain yang bisa kita perkirakan. Itu akan sangat membantu saat kita memotret.
Sejak tahun 2002 saya suka Jerman, sejak 5 tahun lalu liga yang saya ikuti adalah Bundesliga, sayangnya Jerman harus pulang terlebih dulu.
Ada berapa banyak pewarta Indonesia yang berangkat meliput Piala Dunia, mas? Denger-denger ketemu dengan Mas Panca Syurkani (Alumni Training of Trainers (yang sekarang menetap di Rusia) ya mas?
Indonesia mendapat jatah 10 akreditasi dari FIFA yang dibagikan oleh PSSI, 8 untuk wartawan tulis dan 2 untuk fotografer. Tabloid BOLA yang tidak pernah absen mengirimkan wartawannya (foto/tulis) sejak Piala Dunia 1986 mendapatkan 2 akreditasi, satu untuk reporter satu untuk fotografer. Sedangkan 1 jatah fotografer didapat oleh Jawa Pos. Kebetulan dari Jawa Pos yang berangkat adalah Angger Bondan, senior semasa saya kuliah di Universitas Sebelas Maret, Solo.
Nah, Mas Panca adalah salah satu orang yang saya ganggu sejak Februari 2018 (4 bulan sebelum berangkat). Saya banyak bertanya tentang kartu telepon, jaringan internet, barang-barang yang perlu dibawa, transportasi dan hal-hal detil lainnya. Panca dan mahasiswa dari Indonesia yang sedang belajar di Rusia juga membuat grup WhatsApp yang berisi wartawan Indonesia yang bertugas di Piala Dunia. Saya merasa sangat terbantu sejak sebelum berangkat maupun pas berada di sana. Oiya Panca juga sempat menginap di apartemen saya dan menceritakan bagaimana berumah tangga dengan wanita Rusia. Hehe.
Nemuin hal menarik apa aja nih? Ceritain dong soal kuliner enak di sana.
Beberapa hal yang mengesankan saya:
- Tentang kedisiplinan orang Rusia yang tidak saya temui di Indonesia. Seperti tertib antri, buang sampah pada tempatnya dan transportasi umum yang saling terkoneksi. Jujur itu membuat saya nyaman.
- Rusia menjadi penyelenggara yang sangat baik. Sebagai wartawan saya tidak merasa kesulitan bekerja karena hampir di setiap titik ada volunteer yang dapat kami tanya. Jika satu volunteer tidak tau, maka dia akan menanyakan kepada volunteer lain hingga masalah teratasi.
- Sistem keamanan yang baik membuat kita bekerja dengan tenang dan nyaman.
- Bangunan-bangunan tua yang masih digunakan dan mendominasi di beberapa kota yang saya kunjungi (Moscow, Saint Petersburg, Kaliningrad, Kazan, Samara).
- Suporter dari berbagai negara berkumpul jadi satu. Hampir di setiap sudut kota, saya bertemu dengan berbagai suporter dari berbagai negara. Mereka bebas berekspresi dan saling menyanyikan yel-yel yang mendukung negaranya. Uniknya setelah itu mereka saling berpelukan dan tidak bentrok. Indah sekali.
Di setiap kota yang saya singgahi, saya menginap di apartemen, hal ini memungkinkan saya memasak setiap hari karena ada dapurnya. Pagi sebelum berangkat biasanya saya masak, siangnya kalau lapar makan di luar, kalau gak terlalu lapar ya ditahan-tahan dulu biar bisa masak dan makan lagi di apartemen. Kenapa memilih lebih banyak masak? Ada dua alasan; biar lebih hemat, selain itu makanannya tidak terlalu cocok di lidah saya. Bahan-bahan masakan saya beli dari supermarket, tidak terlalu mahal menurut saya. Contohnya beras yang bisa untuk makan 7-8 orang harganya sekitar Rp 40.000,-, ayam matang satu potong harganya sekitar Rp 60.000,-.
Ada beberapa makanan yang saya coba, dan semuanya lupa namanya. Salah satu yang saya coba adalah “Mie Ayam Rusia”. Teman kuliah saya, Albert Muhammad yang mempunyai istri orang Rusia sekarang tinggal di Kota Saint Petersburg tahu salah satu makanan favorit saya adalah mie ayam, makanya dia mewajibkan saya mencoba. Bentuk mie-nya mirip mie Indonesia dengan bumbu rempah lumayan kuat.
Di Kota Kazan, saya mencoba salah satu gerai makanan Indonesia, namanya “Indo Food”. Menurut KBRI, “Indo Food” ini adalah gerai makanan halal Indonesia pertama yang berada di Rusia. Pemiliknya adalah seorang dosen di sebuah Universitas di Kazan yang pernah kuliah S2 di sebuah Universitas Islam di Malang, Indonesia. Waktu itu saya pesan sapi lada hitam. Rifkat, juru masak waktu itu sampai menunggui saya makan untuk mengetahui bagaimana komentar masakannya dari orang Indonesia asli.
Apa yang paling membuat deg-deg an sebagai seorang fotografer saat bertugas meliput Piala Dunia 2018?
Yang paling deg-degan adalah masalah keamanan barang-barang, terutama alat untuk motret. Setiap memotret pertandingan biasanya saya membawa satu pelican dan satu tas ransel. Satu pengalaman tidak enak yang selalu teringat adalah saat di Kota Samara. Sekitar pukul 06.00 pagi saya tiba di Samaran dari Kazan. Perjalanan dari Kazan ditempuh sekitar 4-5 jam menggunakan mobil. Saya menggunakan aplikasi car sharing karena saat itu tiket pesawat mahal, tiket kereta habis, sedangkan saya harus mengejar pertandingan hari berikutnya.
Samara adalah kota kelima saya selama bertugas di Piala Dunia. Untuk pertama kalinya pula saya takut keluar apartemen. Bagaimana tidak, sesampainya di Samara dari Kazan sekitar pukul 06.00 pagi saya didatangi empat orang. Mereka berbicara menggunakan Bahasa Rusia. Melalui aplikasi google translate saya tau ada salah satu kalimat yang dapat diartikan mereka meminta uang. Ya jalan satu-satunya adalah pura-pura bego dan berharap host apartemen tempat kami menginap segera datang. Puncak kegelisahan saya adalah ketika salah satu dari mereka memberikan bahasa tubuh berupa ancaman dengan menaruh jari tangan di leher. Sekitar sepuluh menit akhirnya Oleg, host apartemen datang dan menceritakan bahwa jangan mendekat ke orang-orang itu lagi karena di daerah sini memang daerah kriminal.
Sempet menemukan kebosanan nggak sih saat meliput satu ajang olahraga gini?
Sama sekali tidak, bahkan merasa kurang karena saya belum puas motret.
Kalau kesulitannya apa? Bahasa jadi kendala kah? Atau ternyata di sana Bahasa Inggris sudah banyak digunakan oleh warga setempat? Lalu, cara mengatasi kesulitannya gimana?
Waktu pertama kali sampai Moscow pada tanggal 8 Juni, penunjuk jalan, tulisan di stasiun kereta dan tanda-tanda lain masih menggunakan alfabet Cyrillic. Nah itu menjadi salah satu kendala tersendiri. Baru sekitar H-3 pembukaan piala dunia akhirnya ditambahkan alfabet Latin.
Untuk Bahasa, Kota Saint Petersburg menurut saya lebih banyak warganya yang bisa Bahasa Inggris daripada kota lainnya. Kesulitan biasanya ditemui saat berbelanja (isi pulsa, beli beras/lauk) karena kebanyakan kasir tidak bisa berbahasa Inggris. Cara mengatasi biasanya menggunakan aplikasi Google Translate (voice). Untuk kesulitan yang lain sepertinya tidak ada karena secara sistem transportasi dan hal-hal yang berhubungan dengan Piala Dunia diurus dengan sangat rapi.
(PannaFoto Institute / Foto: courtesy of Herka Yanis Pangaribowo)