Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2018, ajang penghargaan untuk karya-karya foto jurnalistik terbaik. Tidak hanya diberikan kepada pewarta foto profesional, para citizen journalist juga berkesempatan untuk mendapatkan penghargaan atas karya-karya mereka di APFI ini. Ajeng Dinar Ulfiana salah satunya, mahasiswi Program Studi Jurnalistik IISIP, Jakarta dan alumni Program Panna Mentorship 2017 ini menerima penghargaan untuk Kategori Foto Cerita ‘Citizen Journalist’. Kami menemui Ajeng untuk ngobrol tentang pengalamannya di Batam. Yuk simak di bawah ini:
Halo Ajeng, apa kabar? Lagi sibuk apa sekarang?
Halo kabar aku baik alhamdulillah, sekarang aku lagi nunggu wisuda sambil ngejalanin bisnis sate Taichan yang aku bangun 2 tahun lalu, sambil apply kerjaan nih. Selain itu, aku masih jadi freelance photographer.
Bulan April lalu kamu mendapat penghargaan di ajang Anugerah Pewarta Foto Indonesia untuk Kategori Foto Cerita ‘Citizen Journalist’. Selamat ya! Gimana rasanya?
Iya benar aku dapat penghargaan di ajang Anugrah Pewarta Foto Indonesia 2018 (APFI) yang diselenggarakan di Batam. Aku senang dan tidak menyangka bisa juara 1 photo story. Saat ngirim aku sudah sangat pasrah karena aku tahu sainganku mereka yang sudah lama berkecimpung di dunia fotografi. Tapi ya aku juga harus optimis juga soalnya aku juga mau mendapatkan sesuatu yang lebih lagi. Aku personally juga memiliki ambisi untuk menjadi yang terbaik di antara yang lain atau menjadi orang yang menonjol. Makanya aku beranikan submit ke ajang tersebut.
Ceritain dong dari awal submit sampai bisa dapet penghargaan gimana prosesnya. Siapa tahu ada teman-teman mahasiswa lainnya yang pengen coba submit tahun depan tapi belum percaya diri.
Photo story yang aku kirimkan itu hasil dari ikut Panna Mentorship 2017. Jadi Panna Mentorship adalah sebuah workshop yang diselenggarakan untuk anak kuliahan dan fotografer muda maksimal umur 25 tahun. Saat itu aku dimentorin oleh Mas ‘Unank’ Ramdani – yang juga dapat penghargaan di APFI 2018 – mungkin karena melihat portofolioku yang lebih jurnalistik makanya aku bisa dimentorin sama mas Unank. Output dari Panna Mentorship ini masing-masing peserta harus membuat satu photo story dan aku mengangkat story tentang “Mr.X” karena aku dari dulu selalu memikirkan nasibku kalau kenapa-napa pas nggak bawa identitas – apalagi suka nggak bawa dompet. Makanya aku coba telusuri ternyata kalau aku mati tanpa membawa identitas bisa saja dikuburkan dengan batu nisan “Mr.X”. Jadi cerita itu yang aku buat di program Panna Mentorship ini. Di Panna Mentorship bahkan kami diminta untuk pilih sendiri sekitar 15 foto yang kami anggap terbaik dari semua yang kami ambil selama program, abis itu dikerucutin lagi jadi enam foto. Susah hehe
Lalu untuk APFI, karena nggak pedean, sebelum submit aku sharing dengan senior yang mengajari aku foto dari nol banget karena aku anggap dia tau bagaimana karakteristik aku. Aku memeriksa ulang semua foto, termasuk caption dan narasi. Aku juga meminta pendapat dari teman-temanku untuk melihat tone fotoku. Setelah aku dan teman yang kupercayai untuk mengkritisku berdiskusi, akupun pede untuk mengirimkan karyaku ke ajang yang fenomenal banget untuk kalangan pewarta foto.
Nah tips kalau kalian nggak pede sama karya kalian, banyak-banyakin sharing aja sama orang yang kalian percaya, disamping bisa meningkatkan kepedean, menenangkan hati juga lho hehehe. Tapi jangan sharing terlalu banyak, jangan sampai hasil karya kamu adalah hasil dari otaknya. Jadi sharing seperlunya aja. Kelebihan sharing, kamu bisa tau apa kurangnya kamu. Karena karyamu itu kan yang nikmatin orang lain jadi jangan sampai mengeluarkan keegoisan kamu dalam berkarya. Dengarkan apa kata mereka, jika menurut kamu pemikiran mereka sangat tidak cocok dengan apa yang kamu pikirkan ya kamu cukup memikirkan matang-matang apakah pilihan kamu tepat. Kalian juga harus bisa berargumentasi atas karya kalian sendiri. Karena karyamu adalah tanggung jawabmu.
Nah, kalo tentang pembuatan photo story Mr. X, bisa ceritakan juga nggak? Singkat aja.
Kayak yang aku ceritain di atas, cerita Mr. X muncul dari kekhawatiranku “bagaimana kalau aku meninggal di jalanan tanpa membawa identitas?”. Untuk pembuatannya, aku datang ke kantor Palang Hitam, kenalan dengan para petugas, bertanya seputar Mr. X dan alur kerja regu Palang Hitam. Dari mereka aku tahu kebanyakan info kematian datangnya dari Panti Sosial Permasalahan Kejiwaan, dari TKP ada juga tapi nggak tentu.
Aku ngerjain project ini selama sebulan tapi tidak setiap hari karena kepotong kuliah dan bimbingan dengan dosen jadi aku menjadwalkannya 3 minggu sekali. Hari kedua hingga kesepuluh info kematian selalu datang dari panti sosial. Di hari kesebelas aku melakukan eksekusi yang berbeda, yakni di malam hari. Sekitar pukul 2 dini hari ada telepon dari kantor polisi daerah Jakarta Utara. Di tempat kejadian, aku dipertemukan dengan jasad seorang perempuan yang tertabrak tronton dan terseret sehingga wajahnya sulit diidentifikasi.
Setelah mengambil gambar, aku masuk ke dalam mobil jenazah dan mengambil posisi di samping keranda mayat untuk mendapatkan pengalaman seperti para petugas Palang Hitam. Mobil kemudian meluncur ke RSCM. Di RSCM dilakukan otopsi, setelahnya jasad diinapkan di semacam lemari es hingga polisi bisa menemukan keluarga atau identitas dari jasad tersebut.
Jadi penasaran, mengalami kejadian-kejadian ‘aneh’ nggak setelah memotret?
Ada! Kamera jepret sendiri, tiba-tiba tercium bau mayat tapi temen-temenku juga mencium baunya, sampai mikir baunya jangan-jangan nempel di jaketku tapi aku nggak pake jaket itu pas motret. Terus driver Gojek ada yang bilang, “Neng banyak ‘yang ngikutin’ ya. Habis ngapain sih?”.
Sekarang tentang fotografi, kamu memang mau menjadi pewarta foto ya? Kenapa?
Mau pakai banget! Kenapa aku bisa suka fotografi jurnalistik, mungkin karena aku kuliah di Jurusan Jurnalistik. Alhasil aku jadi tahu dasar jurnalistik. Aku suka banget melakukan riset. Menurut aku membuat foto dengan riset tuh lebih menantang hehe. Entah kenapa kalau udah motret ada sepertinya ada dari pemikiranku yang berhasil kurealisasikan. Menurutku foto jurnalistik tuh lebih ke membaca moment.
Dapat pengalaman atau cerita apa saja dari pewarta foto yang kamu temui di Batam saat APFI kemarin?
Aku mendengarkan banyak cerita dari tim APFI di Kepri (Batam). Aku paling lama pulangnya dibandingkan fotografer lain kemarin. Aku seminggu di Batam karena sekalian mau bikin project (merasa nanggung kalau nggak garap project, mumpung ada kesempatan ke sana). Aku juga bertemu orang-orang hebat di Batam seperti mas Kanwa, Danna Tampi, mas Agung, ka Bibi serta anggota PFI Batam lainnya. Aku juga ikut semua workshop PFI saat itu. Aku juga nyobain motret hari Buruh di sana. Orang PFI Batam juga baik banget mau nolong aku yang buta arah mau kemana-mana saat itu. Di ajang APFI di Batam ini lah aku ketemu orang-orang hebat yang bisa aku lihat karyanya pada saat itu saja. Dan nggak nyangka banget karyaku bisa sederetan sama mereka. Alhamdulillah.
Mas Ramdani, pewarta Media Indonesia, yang juga mentor kamu saat membuat “Mr. X” juga menerima penghargaan di APFI, mas Ramdani kasih komentar apa?
Mas Unank memboyong 3 piala sekaligus lho, waktu itu dia mengatakan kalau karyaku layak mendapatkan penghargaan ini dan mas Unank juga bilang jangan puas dengan karya saat ini. Jadikan ini sebagai cambukan buat aku hehehe.
Saat itu bang Nando [Fernando Randy] yang juga mentor di Panna Mentorship juga mendapat penghargaan di Kategori Photo Story untuk pewarta di APFI 2018 ini. Bang Nando juga mengatakan hal yang sama, “jangan berhenti sampai sini, Jeng, terus lanjut lagi.”
Aku mau sampaikan selamat buat mas Unank dan bang Nando atas penghargaan yang sudah diterima. Keren banget mereka terus berkarya baik untuk pekerjaan maupun pribadi.
Berapa lama kemarin di Batam? Sempet extend buat jalan-jalan nggak? Nemu yang menarik nggak selama di Batam?
Alhamdulillah nih aku bawa tiga story. Yang pertama “Old Story”, tentang peninggalan kota Marina di Batam. Aku juga membuat “Perkabaran Bahasa Indonesia di Pulau Tanjung Pinang”, kata orang sana awal mulanya bahasa Indonesia ada di pulau Pinang. Yang terakhir “Behind Padang”, ini story tentang aktivitas di Belakang Padang yang mepet dengan Singapura.
Pulang-pulang dari Batam bawa piala apa kata orang tua dan teman-teman di Fokr?
Waktu itu pada bertanya “Dapet apa?” dan yang pasti pujian mengalir tiada henti dari Fokr [UKM Fotografi di IISIP] dan ukm lainnya yang ada di kampus. Teman-teman kampus juga begitu. Tapi aku tetap nggak mau tinggi hati.
Setelah ini ada rencana apa? Photo story baru mungkin? Sama apa sih keinginan terbesar Ajeng di fotografi?
Photo story ada cuman aku belum bisa menggarap karena terhimpit wisuda dan aktivitas lain, terutama kerjaan. Aku berencana membuat project tentang suatu penyakit. Kalau keinginannya, pengen banget bisa pameran sama alumni-alumni Panna, sama pengen ketemu langsung dan belajar dari Sirachai Arunrugstichai, pewarta foto dari Thailand.
Terakhir, bagaimana pekerjaan di kantor baru?
Di Katadata aku kayak belajar lagi sih. Tim di Katadata kasih aku kesempatan buat belajar dan menyesuaikan diri dengan medianya. Mereka juga kasih aku kepercayaan untuk meliput acara IMF di Bali, padahal baru seminggu kerja.
(PannaFoto Institute – LDA / Foto: courtesy of Ajeng Dinar Ulfiana)