Pada akhir pekan, beberapa orang pria, tua dan muda, mengendarai motor maupun sepeda dengan kandang burung dari bambu pada punggung mereka atau punggung penumpang di jok belakang. Mereka menuju ke tanah lapang. Di sana mereka berkumpul dengan burung-burung merpati kesayangan, siap berlomba. Setelah semua berkumpul, satu per satu nomor undian dipanggil, satu orang dengan burung merpati betina berlari menuju satu titik yang sudah ditentukan oleh panitia, sementara satu orang dengan burung merpati jantan berdiri di titik awal, siap menerbangkan burung merpatinya. Burung merpati jantan itu akan terbang secepat mungkin menuju merpati betina. Itulah balap merpati.
Membuka halaman per halaman buku foto Paloma Al Aire karya Ricardo Cases membawa saya kepada imaji akan lapangan dan balap merpati itu. Buku foto berukuran A5 dengan binding spiral itu terkesan bersahaja, seperti buku catatan pada masa kuliah. Di dalamnya, terdapat 44 foto berwarna. Yang membedakan dengan balap merpati dalam ingatan saya adalah dalam buku foto ini, burung-burung itu dicat dengan warna-warna terang yang mengingatkan pada bendera-bendera berbagai negara. Selain potret burung-burung merpati tersebut, dalam buku foto ini juga kita temui wajah-wajah pembiak, dan tentunya gambar hamparan pemandangan Valencia dan Murcia di Spanyol.
Paloma Al Aire karya Ricardo Cases ini menceritakan tentang praktik balap merpati di Valencia & Murcia, Spanyol yang dikenal dengan istilah Colombiculture (Colombicultura). Aturan mainnya, berbeda dengan praktik yang kita kenal di Indonesia, pada Colombiculture, seekor burung merpati betina diterbangkan yang kemudian akan dikejar oleh puluhan burung merpati jantan. Bagaimana menentukan pemenangnya? Burung jantan yang terbang paling lama dan dekat dengan burung betina lah yang akan dinobatkan menjadi pemenang. Mengutip penjelasan di halaman penerbitnya, Dewi Lewis, “The winner is not necessarily the most athletic, the toughest or the purest in breed but the most courteous, the one that shows most constancy and has the strongest reproductive instinct. This is the one that is seen as the true embodiment of ‘macho’.” (Pemenangnya bukanlah yang paling atletis, tangguh, maupun trah murni melainkan yang paling ‘sopan’ dan memiliki keteguhan sekaligus insting reproduksi yang kuat. Dengan kata lain, yang ‘macho’.)
Lebih mendalam lagi, Photobookstore menuliskan, “Merpati jantan tersebut merupakan wujud keberhasilan maupun kegagalan pria-pria lanjut usia di Spanyol dalam olahraga, ekonomi, maupun seksual. Memelihara merpati pejantan juara dapat membawa kebanggaan dan keuntungan. Jauh dari kenyataan pahit kehidupan sehari-harinya, mereka seolah memiliki kesempatan kedua untuk berada di puncak. Mereka hanya memerlukan seekor burung merpati yang menjadi juara.”
Ricardo Cases dalam Paloma Al Aire tidak mengikuti sepak terjang burung-burung merpati di udara, melainkan lebih memilih untuk mengamati sepak terjang pemiliknya di lapangan. Dalam beberapa foto terlihat para pemilik ini berupaya untuk menyelamatkan burung-burung mereka, ada yang terjatuh dan terjebak di semak berduri, ada yang sepertinya enggan berlomba dan memilih bertengger di tembok tinggi, ada pula yang tersangkut di pohon. Cerita kegigihan dan potret ke-absurd-an di lapangan yang diabadikan oleh Ricardo Cases inilah yang menjadikan foto-foto dalam bukunya begitu menyenangkan untuk dilihat berkali-kali.
(Teks: Lisna Dwi A. / Foto: Qolbee Maliki)