Dalam empat tahun terakhir fotografi analog kembali populer di kalangan anak muda, bisnis yang berkaitan dengan fotografi analog; penjualan kamera analog, film, hingga jasa cuci dan develop film kembali marak, mulai dari bisnis yang dilakukan secara online hingga membuka toko. Di Yogyakarta, alumni Panna Mentorship, Danysswara juga memiliki ketertarikan dengan analog, tetapi ia melakukan hal yang berbeda, yakni dengan menghidupkan kembali afdruk foto kilat. Lisna (Asisten Program PannaFoto Institute) berbincang dengan Danysswara “Gobi” tentang kesibukannya dengan Afdruk 56. Simak perbincangan selengkapnya di bawah ini.
Halo Gobi, apa kabar? Terima kasih ya sudah meluangkan waktunya untuk ngobrol-ngobrol. Lagi sibuk apa sekarang?
Hallo Kak Lisna & PannaFoto!
Sekitar 6 bulan yang lalu saya baru aja lulus dari Jurusan Fotografi, Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Sekarang saya bekerja di CPC Studio milik Bapak Johnny Hendarta sebagai Digital Imaging Artist sekaligus operator printing. Selain itu saya juga menjadi tim dokumentasi foto untuk ARTJOG MMXIX, mengelola Darkroom milik RUANG MES 56 yaitu AFDRUK 56 serta mengembangkan proyek dan programnya. Di samping itu, seminggu sekali saya mendampingi bapak Dr. Irwandi dan Bapak Bagong menjadi asisten untuk mengajar perkuliahan Fotografi Analog. Serta menyokong teman-teman fotografer muda dan membantu mempublikasikan karya mereka bersama SOKONG! Publish.
Saya pribadi tertarik dengan gerobak cuci kilatmu, Afdruk Foto Kilat. Yang saya tahu, itu dulu tugas akhir perkuliahan kan ya? Bisa ceritain lebih lengkap tentang Afdruk Foto Kilat ini?
Saat magang di RUANG MES 56 saya menemukan foto dokumentasi tentang Afdruk Foto Kilat yang ada di depan kampus STIKER Jalan Parangtritis KM 3, kalo dilihat metadatanya foto-foto itu diambil tahun 2004. Dua tahun sebelum kampus STIKER hancur karena gempa Bantul, dan para tukang cetak Afdruk Kilatnya beralih profesi karena kehilangan konsumen utamanya.
Afdruk Foto Kilat adalah sebuah jasa fotografi khusus mencetak pasfoto hitam-putih dengan menggunakan enlarger dan gerobak kamar gelap yang dibuat sendiri dengan semangat DIY (Do It Yourself), sumber cahaya yang digunakan untuk mencetak adalah sinar matahari atau pancaran lampu petromaks. Afdruk sendiri adalah kata separan dari bahasa Belanda yang berarti cetak, namun di Indonesia Afdruk lebih populer untuk istilah mencetak pasfoto. Kata kilat pun berarti cepat, prosesnya hanya membutuhkan waktu sekitar 5-10 menit untuk mencetak pasfoto, anggapan kilat itu datang saat studio foto profesional membutuhkan waktu satu hari atau satu malam untuk mencetak pasfoto, karena mereka memiliki waktu khusus untuk mencetak dan biasanya dilakukan saat malam hari. Jadi jika pelanggan datang di siang hari ia harus menunggu sampai keesokan harinya atau harus membayar lebih mahal untuk layanan kilatnya. Hal inilah yang mendorong hadirnya praktik Afdruk Foto Kilat, khususnya sekitar tahun 1980-2000.
Revolusi teknologi digital berkembang pesat, perlahan namun pasti mengubah praktik fotografi, lembaran celluloid negative pun digantikan kartu memori. Secara perlahan konsumen pun beralih ke fotografi digital yang lebih cepat, hasil cetakannya pun lebih tahan lama dibanding Afdruk Kilat yang akan menguning setelah beberapa bulan, dan tentunya bisa mencetak foto berwarna.
Sampai saya memulai penelitian ini pun, saya tidak menemukan Afdruk Foto Kilat yang masih beroperasi di tahun 2017, hanya menyisakan artefak seperti gerobak yang sudah diubah menjadi gerobak stempel kilat atau berjualan rokok dan minuman, namun beberapa dari para tukang cetak masih bertahan di gerobaknya dan menyimpan peralatan enlarger buatannya sendiri yang sudah tidak bisa digunakan lagi, untuk mengenang profesinya di masa lalu. Seperti pak Barjo yang masih menyimpan lensa enlarger-nya, Pak Toni yang masih bertahan dengan gerobaknya yang ada di dekat kampus UGM dan dengan baik hati mewariskan enlarger buatannya kepada saya untuk penelitian ini, Pak Mujadi juga masih setia di depan kampus STIKER dengan berjualan stempel kilat.
Apa yang Gobi sendiri harapkan dari kehadiran Afdruk Foto Kilat di tengah eksistensi fotografi analog yang mulai marak lagi ini?
Tujuan awalnya proyek ini adalah untuk skripsi tugas akhir dengan judul “Rekontekstualisasi Gerobak Afdruk Foto Kilat Di Kota Yogyakarta: Dalam Penelitian Terapan” saat saya sedang membuat gerobaknya di Ruang MES 56, mas Wimo Ambala Bayang dan Mas Edwin Roseno (Dolly) menyarankan kalau proyek ini bisa dikembangkan menjadi praktik fotografi performatif seperti karya “Keren Dan Beken” pada saat Jogja Biennale di tahun 2003. Saya mencoba mengadopsi praktik foto kilat “Keren Dan Beken” dengan Afdruk Foto Kilat yang sedang dikerjakan, yang membedakannya adalah proses mencuci film dan mencetak dikerjakan di gerobak. Pagelaran Pameran Perupa Muda, Festival Kesenian Yogyakarta 30 (2018) menjadi debut Afdruk Foto Kilat 56 muncul ke publik, dengan membuka jasa cetak foto bersama teman-teman Keluarga Old Photographic Processes ISI (KOPPI), dan mendapat pinjaman alat potong kertas foto berpola dari Indonesian Photography Archive (IPA).
Gerobak ini sebenarnya sama dengan kamar gelap konvensional, dan sudah pernah dua kali digunakan untuk lokakarya fotogram yaitu saat ARTJOG MMXIX dan saat november 2018 dengan Katharina Duve seniman asal Jerman yang sedang residensi di Cemeti Institute of Art and Society untuk membuat lokakarya fotogram dengan tema hantu. Untuk saat ini saya berharap agar pengetahuan tentang sejarah fotografi asli Indonesia ini tetap bisa kita pelajari bersama.
Memang saat ini fotografi analog sedang tren, rasanya saya juga mengikuti tren ini. Tren ini tentunya hal yang sangat baik, membuka lahan usaha baru bagi para pengusaha yang menyediakan peralatan fotografi analog dan akhirnya memudahkan para fotografer mendapatkan materialnya walaupun terkadang harganya tidak masuk akal, dan kalo mencari peralatan atau material mencetak foto masih agak susah karena kebanyakan berakhir dengan scanner dan digitalisasi.
Saya bersama Ketua Dolly mencoba menghadirkan Afdruk 56 untuk merespon tren itu, dengan membuat program edukasi dan eksperimentasi fotografi analog. Saat ini Afdruk 56 sudah ketambahaan Ketua Anang Saptoto, Ketua Isidorus Shalom, Ketua Ventus.
Seberapa besar antusiasme penikmat fotografi di Yogya pada Afdruk Foto Kilat?
Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 2018, Tatto Merdeka 2018, Batik Biennale 2018, Pesta Boneka 2018 atau International Puppet Biennale, Eighter Together Whatever atau 17th Anniversary Ruang MES 56, ARTJOG MMXIX, dan juga Pekan Fotografi Sewon 4, adalah serangkaian pameran dan festival yang pernah dihadiri oleh Afdruk Foto Kilat 56. Ada beberapa reaksi menarik pada saat perhelatan festival tersebut yang masih teringat, seperti pada saat FKY seorang pengunjung yang sudah senior terkejut ketika menemukan gerobak biru dengan lampu petromak di sebuah festival seni, ia bertanya “mas iki afdruk kilat beneran?”, saya jawab “Ho oh pak”, kemudian si bapak pun menghilang beberapa menit dan kembali lagi dengan membawa negatif filmnya saat masih muda saat sedang berpose mengendarai motor vespa, sayangnya filmnya adalah 6×6 dan enlarger yang saya punya di dalam gerobak hanya untuk 35mm, jadinya film tersebut tidak bisa direproduksi.
Dalam beberapa kesempatan saya pernah mendapatkan jutaan rupiah dalam semalam, dan pernah juga hanya nongkrong di samping gerobak seharian tanpa adanya pengunjung yang meminta jasa foto. Pada saat Pesta Boneka ada pelanggan yang hanya meminta mencuci film yang ia bawa sendiri dan ternyata ia adalah Om Erik Prasetya dengan kamera Hasselbald XPAN dan Film Ilfordnya. Praktik Rekontekstualisasi Afdruk Foto Kilat ini sangat terbuka untuk dihadirkan dalam berbagai festival seni dan budaya, tunggu kami di pagelaran kesenian lainnya!
Ngomong-ngomong, sempat lihat melalui akun sosial mediamu beberapa waktu lalu kamu ke Australia untuk workshop analog ya? Ceritain dong pengalaman workshopnya. Dapet ilmu apa aja?
Kemarin saya Workshop Mencetak Carbon Print, Liquid Emultion dan Juga Wet Collodion di Gold Street Studio dengan guru, Ibu Ellie Young. Pada workshop tersebut saya diajak pak Irwandi, dalam kapasitas sebagai alumni ISI yang aktif dengan praktik fotografi analog termasuk di organisasi KOPPI dan kelompok Afdruk 56. Hal tersebut adalah inisiatif dan dukungan dari bapak Suherry Arno, untuk pengembangan materi kuliah Fotografi Cetak Tua di kampus ISI Yogyakarta. Selain itu, dalam workshop tersebut saya mempelajari teknik fotografi analog lainnya secara teoritis ketika bertanya langsung dengan Ibu Ellie, dan sedikit mengenai management studionya pun juga dipelajari yang nantinya akan saya terapkan bersama KKM Keluarga Old Photographic Processes ISI (KOPPI).
Dari workshop di Australia, bagaimana akan mengaplikasikan ilmunya?
Dari workshop itu yang paling menarik adalah Color Carbon Print, walaupun sangat rumit dan setidaknya butuh waktu 2 hari untuk membuat satu lembar foto berwarna karena harus mencetak 4 warna yaitu cyan, magenta, yellow dan Black pada satu lembar kertas yang sama tapi hasilnya luar biasa bagus dan cetakannya menampilkan relief antara bagian yang terang dan gelap, selain itu Carbon Print adalah Pigmen Base jadinya warna cetak dan kontrasnya akan bertahan sangat lama. Untuk sementara ini ilmu yang didapat akan ditransfer ke mahasiswa fotografi angkatan 2018 dan tentunya KKM KOPPI di kampus ISI.
Coming up, ada project apa?
Sejak pameran “Analog Weekend” di Festival Bandung Photography Month 2017 saya tertarik dengan film dan artefak fotografi temuan, sekitar sebulan yang lalu saya mendapatkan ribuan negative film dari pasar klitian dan saya akan mencoba mengolahnya, yang menarik adalah banyak foto-foto tersebut yang diproduksi secara serius baik dalam hal teknis maupun komposisinya, ada foto pernikahan dengan multiple exposure, hamparan landscape, foto bonsai, foto dari suatu festival di India dan ada juga foto dokumentasi kematian perwira angkatan darat di tahun 1960an dengan film 6×9.
Saya juga sedang berupaya membawa gerobak Afdruk Foto Kilat 56 keluar dari kota Yogyakarta untuk memperkenalkan budaya fotografi populer asli Indonesia yang sudah lenyap karena disrupsi ke arah teknologi digital, selain itu saya juga sedang mempersiapkan pameran tunggal yang semua fotonya akan dikerjakan di kamar gelap semoga bisa terealisasi di tahun 2020.
Karya-karya Danysswara “Gobi” dapat diikuti melalui akun @danysswara, sementara Afdruk 56 dapat diikuti melalui akun @afdruk56 melalui platform Instagram.