Panah Mataram
Dalam budaya Jawa-terutama di masa lalu, laku atau tindakan dalam kehidupan sehari-hari senantiasa berlandaskan pada aturan-aturan tertentu yang dikenal sebagai adab atau tata krama. Selalu ada nilai-nilai yang melekat dalam setiap gerak manusia Jawa. Tak terkecuali dalam kegiatan memanah yang bagi kita hanya melihatnya sebagai sebuah cabang olah-raga. Memanah bagi orang Jawa sejatinya bukan sekedar kegiatan merentang busur dan kemudian melepaskan anak panah kesasaran. Sejumlah nilai luhur yang bisa dipandang sebagai kebijaksanaan lokal melekat didalamnya.
SENI MEMANAH MELAWAN ZAMAN.
Pada masa jaman kerajaan Mataram, senjata panah atau dalam bahasanya jemparing disandang oleh pasukan khusus yang dikenal sebagai P anyutro. Mereka yang berdiri paling depan dalam sebuah pertempuran. Panah-panah dilepaskan dalam pertempuran mengarah ke pasukan lawan. Sebuah pertempuran jarak jauh antar pemanah adalah pembuka perang. Mereka bergerak m aju selangkah demi selangkah. Ketika anak panah habis mereka juga harus s iap secara fisik dan mental untuk sebuah pertempuran jarak dekat.
Adalah Tubagus Ali Mustofa, atau akrab dipanggil Gus Mus, keturunan dari senopati-senopati di masa kerajaan Pajang dan Demak yang kini memimpin padepokan jemparing “Dewondanu” mempunyai misi besar yakni, melestarikan seni ‘berperang’ dengan panah tradisioanal.
Secara rutin mereka berlatih di sebuah lapangan di Dusun Karangnongko, Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Sleman, Yogyakarta.
Memanah adalah soal rasa, sesuai dengan arti kata “m anah” , sebuah kata Bahasa Jawa, yang artinya hat i. “Harus ada perasaan dan hati yang tenang”, saat membidik, meregangkan busur, untuk kemudian melepaskan anak panah ke sasaran. “Memanah adalah soal mengolah rasa”, ucap Gus Mus.
Ada adab yang tak boleh dilanggar, seperti larangan melangkahi busur maupun anak panahnya yang tingkatannya sama dengan senjata pusaka lain semisal keris. Para pemanah ini pun mengenakan pakaian adat Jawa, paling tidak mengenakan ikat kepala kain bahkan saat latihan bebas pun. Bila ada wisatawan para prajurit pemanah ini akan tampil dalam busana pasukan, baju sikepan dan celana p anji hijau lengkap dengan segala atributnya.
Sebagian besar dari para pemanah itu juga prajurit keraton, dengan hak dan kewajibannya sebagai pengawal-mereka dituntut kesiapan baik jiwa maupun jugaraga. Makamerekapunngolahraga,denganberlatihk anuragan atau dewasa ini dikenal sebagai pencak (silat). “ Kekuatan batin/hati dan raga harus selaras ini untuk menghindarkan penyalahgunaan kekuatan”, tutur Gus Mus.
In the old Javanese culture, one’s actions and behavior were always based on certain rules, regarded as decorum or etiquette. There are always values attached to the Javanese’s gestures. Archery is no exception. To the rest of us, archery may seem like a regular sport, but to a true Javanese, archery is not only about extending the bow’s arc and releasing the arrow towards the target. The art contains noble values—or one might call them local wisdoms.
THE ART OF ARCHERY AGAINST TIME
In the Mataram Kingdom, arrows, or jemparing, are the Panyutro’s weapon of choice. Panyutro, the kingdom’s special forces, were the ones who stood on the frontlines in the battlefields. At the start of every battle, their arrows would be aimed directly at the enemy. They would then start to move closer towards enemy lines. Once they ran out of arrows, they would be prepared, physically and mentally, for a direct confrontation with the enemy.
Nowadays, Tubagus Ali Mustofa, also known as Gus Mus, a descendant of the kingdoms of Pajang and Demak’s commanders, runs a jemparing school called “Dewandanu”. His main mission is to conserve the art of war, specifically the archery tradition.
Routine exercises are held in a field in Karangnongko Hamlet, Maguwuharjo Village, Depok Subistrict, Sleman, in the special region of Yogyakarta.
Archery is about the senses, in line with the word manah, which means “heart” in the Javanese language. “The heart and the senses must be serene when taking aim, spanning the bow and finally releasing the arrow,” said Gus Mus. “Archery is about processing your senses.”
Some norms cannot be violated. For example, one is not allowed to step over the bow or the arrow, which are both as revered as other heirloom weapons such as the keris. An archer has to wear the traditional Javanese outfit or at least wear the headband. These rules even apply in open training. When tourists come to visit, all archers will be fully dressed in sikepan (blazer-like top), special trousers, and ornaments.
Most of these archers are also the Keraton’s (Sultanate’s) soldiers, subject to the same obligations and rights of those of the keraton’s guards, and must be both physically and mentally resilient. They also do the kanurangan, a martial arts form known as pencak silat. “There has to be a balance between [an archer’s] mental strength and his physical strength in order to avoid a misuse of power,” said Gus Mus.