Pakde Bambang: Sang Pahlawan
Pakde Bambang adalah kakak sulung sedangkan saya adik bungsu. Masa kecil kami nikmati di rumah sederhana di dekat Stasiun Kota Kediri. Setelah dewasa, kami, kedua adiknya menetap di Jakarta dan dia tetap di Kediri bersama istri dan anak bungsunya. Andry, sulungnya, menetap di Jakarta dan telah memberikan 1 cucu perempuan. Pakde Bambang adalah sosok di balik keberhasilan studi dan karir adik-adiknya.
Kami bertiga bersekolah di tempat yang sama dan memiliki teman bermain yang relatif sama. Setiap hari kami bermain di sekitar stasiun, main layangan, naik kereta yang langsir, membuat pisau dari paku usuk yang dilindaskan roda kereta, adu balap lari di atas rel, mencari glagah, mencari Ikan Ceto di gorong-gorong PJKA. Dengan Sepeda Jengki Biru kami berboncengan keliling kota, pergi ke Jembatan Kali Brantas menonton orang mancing atau nonton di Bioskop Jaya, kami memilih kursi terdepan karena murah dan bisa main kejar-kejaran. Kadang hanya baca komik di pohon jambu merah di belakang rumah. Dunia masa kecil yang sangat membahagiakan meskipun hidup serba terbatas.
Saat itu hanya dengan bekal Ijazah SMA, Pakde berjuang mencari pekerjaan, hingga akhirnya sempat menjadi kuli angkut tembakau di Pabrik Rokok di Kediri. Masih kental dalam ingatan dia yang pendiam, serius dan penuh perhatian kepada setiap orang, setiap sore pulang bekerja wajahnya tampak letih namun berusaha tetap tersenyum dan membantu tugas-tugas sekolah saya. Kini usianya 65 tahun dan sudah pensiun dari PNS Pemda Kodya Kediri, aktivitas utamanya adalah menjalankan tugas Ketua RW membantu warga RW 1 Kelurahan Burengan, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri menyelesaikan berbagai permasalahan ke RW-an maupun masalah pribadi.
Almarhumah Ibu pernah berpesan “Apa yang kamu nikmati setelah sukses berkarir juga menjadi “hak Bambang”, karena dia telah berkorban memberikan kebahagian masa mudanya untukmu.” Rasanya tidak berlebihan kiranya kalau Pakde Bambang menjadi “Sang Pahlawan” dalam kehidupan saya.