EBB & FLOW
Kita seringkali melihat kehidupan seperti rangkaian kejadian yang bermuara pada satu pemahaman akhir, sebuah pencerahan, semacam kebijaksanaan. Lalu kita berasumsi dan berharap pada hal tersebut untuk menjelaskan segala penderitaan yang telah memenjarakan hati serta pikiran kita; untuk menyandangi tujuan pada kesengsaraan-kesengsaraan kita. Namun tidak ada jaminan bahwa semua penderitaan yang ditanggung dapat menerangi jiwa seseorang. Sebab hidup itu sendiri sejatinya tiada berarti— kitalah yang memberi arti padanya—dan betapa gilanya kita yang selalu berharap bahwa pada akhirnya setiap kesengsaraan akan membawa kita kebahagiaan.
Namun, di balik kenyataan suram ini ada sebuah keindahan hidup, sebuah kebebasan untuk memilih.
Menjalani hidup saja tidak akan mewujudkan pengetahuan tentang kedirian seorang. Kita perlu sebuah keinginan untuk memahami pilihan-pilihan dan kesulitan-kesulitan kita. Kebijaksanaan adalah sebuah proses aktif yang membantu kita melalui hari dan berusaha untuk hari esok yang lebih baik. Ia adalah, mengutip seorang penyair dari waktu yang lampau, “sebuah kegusaran melawan kematian cahaya.”
We think of life as a series of events leading to an eventual understanding, an enlightenment, a wisdom of some sort. We assume and hope for such a thing to make sense of whatever agony that captivates our hearts and our minds; to attribute purpose to our sufferings. But there is no guarantee that these sufferings we endure will bring illumination to one’s soul. As life in itself is inherently meaningless—only we attribute meaning to it—how insane of us to constantly wish that suffering will eventually bring us happiness.
Yet beneath this grim reality lies the beauty of life, the freedom of choice.
Living life does not constitute knowledge of one’s self. We need to want to understand our choices and our hardships. Wisdom is an active process that gets us through the day and strives for a better tomorrow. It is, as the poet put it in a long gone time, “a rage against the dying of the light.”